Pages


Soe Hok Gie



Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman. Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 — 16 Desember 1969 akibat gas beracun.

Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Lahirnya Sang Demonstran

Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan kelahiran Jakarta tanggal 17 Desember 1942, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebonjeruk, di suatau rumah di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya.

Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.

Dalam catatan hariannya, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi nyupir mobil. "Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak."

Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Soe menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, 'paduka' kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.

Bacaan dan pelajaran yang diterimanya membentuk Soe menjadi pemuda yang percaya bahwa hakikat hidup adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.

Soe melewatkan pendidikannya di SMA Kanisius. Tahun 1962 - 1969 ia menamatkan kuliah di Fakultas Sasra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Soe resah. Dia mencatat: Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang demonstran.

Hari-harinya diisi dengan program demo, termasuk rapat penting di sana-sini. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya ... Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas. Begitu tulisnya.

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, ia termasuk di barisan paling depan. Konon, Soe juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.

Soe sendiri dalam buku CSD, menulis soal demonstrasi: Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran ... Jakarta, 25 Januari 1966.

Soe dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Jalan (Bentang, 1997).

Kabarnya, sajak karya Soe yang puluhan judul itu, kini juga sedang dalam penyusunan untuk dijadikan sebuah buku kecil. Masuk akal sekali. Sebab Soe itu bergaul akrab dengan penyair angkatannya Taufik Ismail, WS Rendra, Satyagraha Hoerip.

Perempuan

Oleh : Imam Wibowo

Perempuan,
makhluk yang menimbulkan banyak tanda tanya,

Perempuan,
suatu keindahan dari sekian banyak tanda tanya,

Perempuan,
sebuah langit mendung saat hati dilanda tanda tanya,

Perempuan,
keikhlasan sejati yang diliputi oleh tanda tanya,

Perempuan,
Aku Mencintaimu.





Palembang 06 Desember 2007

Script Naga Bonar (Sebagian)

SEQUENCE 1

1. TRADE MARK

2. EXT. SEBUAH POS PENJAGAAN TENTARA JEPANG DI MEDAN
–SIANG
Depan pos itu berdiri sebuah tiang bendera dan puncak tiang itu berkibar bendera jepang.

Adegan ini dimulai dengan adegan MS BENDERA Jepang berkibar di puncak tiang, lalu kamera pan down kebawah sambil zoom – out.
Di latar belakang kelihatan sebuah pos, depan pos itu berbaris empat serdadu Jepang yang siap untuk menggantikan penjaga yang berdiri depan sebuah rumah monyet.
Mereka memberikan aba-aba lalu berjalan berbaris menuju penjaga yang bersiri depan rumah monyet itu. Upacara penggantian kawal pun berlangsung sedangkan di latar depan kelihatan membelakangi dua orang laki-laki yang seorang Nagabonar dan yang seorang lagi Bujang.
Mereka menonton upacara genti kawal tentara Jepang itu.

Bujang:
Enak juga jadi serdadu bang. Makan dapat, rokok dapat. Kerja tak ada.

Nagabonar:
Siapa bilang ? kita lebih enak. Tak ada yang memerintah. Kalau mau prei makan sekali-sekali masuk penjara.

Bujang membalik. Lalu kelihatan mukanya yang kumal dan dahinya ditumbuhi janggut yang jarang karena tak pernah dicukur. Ia melihat kekiri-kekanan lalu berkata.

Bujang:
Banyak bendera merah putih bang.

Nagabonar membalik. Nagabonar juga kelihatan kumal dengan dagu tak dicukur. Ia menyandang kain sarung dan seperti Bujang bajunya juga kotor.
Setelah memperhatikan bendera merah putih yang banyak dipasang depan rumah penduduk ia berkata pada Bujang.

Nagabonar:
Hari besar rupanya.

Bujang:
Apa mungkin karena hari ini kita keluar penjara?

Nagabonar:
Tikus-tikus macam kita siapa pula yang peduli. Kita cari bang Pohan. Kalau dia tak tahu, tak ada lagi orang di Medan ini yang tahu.

Mereka berbalik lalu mulai berjalan.

3. EXT. SEBUAH JALAN DI MEDAN – SIANG
Bujang dan Nagabonar berjalan menyusuri jalan itu. Disana sini kelihatan orang berbaju karung. Dua orang perwira Jepang berpapasan dengan seorang perwira lainnya. Mereka saling membungkuk memberi hormat. Nagabonar berjalan di dekat perwira yang mengenakan arloji tangan dipergelangan kirinya. Kelihatan ia sedikit menyenggol perwira utu. Para perwira itu saling memberi hormat sementara Nagabonar dan Bujang sudah menjauh. Perwira-perwira itu berpisah. Tapi tiba-tiba yang seorang (yang tadi mengenakan arloji dipergelangan kirinya) berhenti lalu memperhatikan pergelangan kirinya dimana arloji itu tadi berada tapi sekarang tidak ada lagi.

Perwira 1:
Nani ka ?

Perwira itu tidak menjawab tapi cuma berbingung-bingung karena arlojinya lenyap begitu saja. Keduanya kemudian mencoba mencari arlojinya itu ditanah.

4. INT. SEBUAH KEDAI KOPI – SIANG
Lantai kedai kopi itu terbuat dari papan. Disebuah meja duduk Nagabonar, Pohan dan Lukman. Nurdin kelihatan asyik menulis disecerik kertas kecil sedangkan Lukman duduk termangu-mangu didepannya. Di hadapan mereka terletak dua buah gelas kopi yang agak kecoklat-coklatan warnanya. Lukman minum kopinya sambil mengernyitkan dahinya kaarena kopi tidak enak.

Lukman:
Kopi apa ini, Murad. Itulah kalau guru sekolah buka kedai kopi, mana lumpurpun ia tak tahu.

Murad:
Jangan banyak cakap kau Lukma. Air selokanpun kau minum.

Lukman:
Jangan begitulah, Murad. Biarpun buruk begini, aku ini anak HBS.

Nurdin Pohan selesai menulis. Sambil menarik nafas ia berkata

Pohan:
Selesai. Coba kau dengar.

Pohan mulai membaca sedangkan Lukman dan Murad Mendengarkan.

POHAN
Hai pemuda Indonesia, bangkitlah kau semua. Negeri kita sudah merdeka Genderang perang sudah berbunyi dengarkan panggilan ibu Pertiwi!

Pohan berhenti menbaca.

POHAN
Bagaimana ?

LUKMAN
Bagus !

Waktu itu masuk Nagabonar dan Bujang terus mendekati meja Pohan.

POHAN
Dari mana saja kalian ? Orang sudah mau perang.

NAGABONAR
Perang?

POHAN
Ya, kalau Belanda kembali lagi, kita lawan.

BUJANG
Tadi banyak bendera kulihat.

POHAN
Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan di Jakarta. Tidak tahu kailan ?

NAGABONAR
Biarlah kami baru istirahat.

LUKMAN
Beli rokok duliu bang. Sudah dua minggu tak berasap mulutku.

Nagabonar mengeluarkan sebuah arloji dari kantongnya (arloji yang tadi dipakai perwira Jepang).

NAGABONAR
Murad, berapa kau mau beli ?

Murad memperhatikan arloji itu sambil berkata.

MURAD
Murah ini harhanya .......

POHAN
Arloji siapa lagi yang kau copet ? rakyat ini sudah miskin, masih kau copet juga.

NAGABONAR
Ini arloji kapten Jepang.

LUKMAN
Punya Jepang ?

POHAN
Betul-betul hebat kau.

NAGABONAR
Siapa bilang Nagabonar tak hebat.

Tiba-tiba dia diam.

NAGABONAR
Jang, jang. Datang lagi dia Jang. Kaus kaki.

Bujang mengeluarkan sepasang kaus kaki putih yang sudah bolong ujungnya lalu memberikannya pada Nagabonar. Nagabonar mengenakan kaus itu.

BUJANG
Teh panas, teh panas.

NAGABONAR
Selimut Jang.

POHAN
Kenapa kau ?

NAGABONAR
Biasalah.

Tiba-tiba badan Nagabonar menggigil sejadi-jadinya. Ia berteriak.

NAGABONAR
Teh panas, teh panas.

Murad datang berlari membawa teh panas. Nagabonar berpegang ke meja sehingga meja itu ikut bergoyang. Sendok-sendok di tasnya bergemerincing dan gelas tumpah. Bujang juga ikut memegang maje itu supaya jangan bergoncang.

NAGABONAR
Jangan meja kau pegang. Dinding pegang. Nanti roboh dia meninggal awak.

Bujang memegang ting kedai kopi itu. Murad meminumkan teh panas. Nagabonar berhenti gemetar. Ia ..... keringatnya di kening.

POHAN
Kenapa kau ?

NAGABONAR
Sudah. Tak apa-apa lagi bang. Sudah lewat dia. Aku ini tak ubahnya ........ kereta Medan belawan. Asal lewat dia, rumah Mak si Bujang bergoyang.

POHAN
Kau sakit Naga ! kau harus kedokter.

NAGABONAR
Dokter mana pula yang dibayar tak mau.

POHAN
Kita kedokter Zulmi.

Mereka berdiri dan membawa Nagabonar, setelah Nagabonar membuka kausnya dan menyerahkannya pada Bujang.

Pohan menarik Nagabonar dan bersama dengan Lukman dan Bujang mereka pergi.

5. INT. KAMAR PRAKTEK DR. ZULMI – SIANG
Nagabonar berbaring diatas divan orang sakit, sedangkan Dr. Zulmi memperhatikan bagian dalam kelopak mata bawah Nagabonar.

DR. ZULMI
Malaria. NAGABONAR (pada Pohan) kan kau kubilang....

DR. ZULMI
Apa yang kamu bilang ?
kamu mesti diobat. Rumahmu dimana ?

NAGABONAR
Di Medan.

DR. ZULMI
Saya tahu di Medan

Ia memperhatikan Nagabonar sebentar lalu ia tersenyum.

DR. ZULMI
Kau sering kulihat dikawasan.
Kau kerja disana ?
Kalau kau takpunya rumah kau boleh tinggal disini dulu.

Ia berjalan kepintu lalu memanggil anaknya.

NAGABONAR
Tak usahlah.......

DR. ZULMI
Kirana !

Kirana masuk. Ia seorang gadis segar yang cantik.

KIRANA
Ya, pa.

DR. ZULMI]
Zeg evanan Amil opdat hij de actherkamer opruimt, ik heb een patient.......


KIRANA
Goed, pa.

Kirana memandang sebentar pada Nagabonar lalu keluar lagi.

DR. ZuLMI
Tunggu sebentar ya. Nanti anak saya akan mengurus kamu.

POHAN
Ongkosnya berapa dokter.

DR. ZULMI
Buat apa bicara ongkos. Mana kalian punya uang ?
Bagai mana kabar perkembangan politik Pohan ?

POHAN
Masa dokter masuh bertanya.

Dr. Zulmi itu keluar.

BUJANG
Barangkali dia mata-maata Belanda.

Dari luar kedengaran radio di bunyikan. Kirana msuk membawa segelas teh lalu mengangkat kepala Nagabonar dan meminumkan teh itu pada Nagabonar.

RADIO (off)
Disini radio republik Indonesia dengan warta berita.
6. INT. RUANG TENGAH RUMAH DR. ZULMI – SIANG
Dr. Zulmi berdiri dekat radio, dari dalam kamar praktek keluar Pohan bersama Lukman dan Bujang. Mereka berdiri mengitari radio.

CU RADIO
RADIO
Pasukan Inggris yang pertama-tama telah mendarat di tanjung priok. Ternyata kedatangan mereka diikuti oleh tentara Belanda. Semua ini memang telah diperkirakan. Pemerintah Indonesia akan mengajukan protes.

7. EXT. SEBUAH GEDUNG TUA – SIANG
Depan gedung itu kelihatan tiang bendera dipuncak tiang itu berkibar bendera Belanda. Sebuah bom meledak di halaman gedung tersebut hingga tiang bendera itu tercabut dan rebah.
Dilatar belakang terdengar komentar.

RADIO
Dimana-mana Belanda membuntuti tentara serikat yang mendarat lalu mulai melakukan provokasi-provokasi.

Api barkobar membakar gedung tua itu.

DISSOLVE INTO

8. EXT. JALAN RAYA – SIANG
Kelihatan pejuang-pejuang berlarian sambil menembak dan bersembunyi.

RADIO
Rakyat mengadakan perlawanan. Siapa saja yang sehat dan kuat, bersenjatakan apa saja, maju kegaris depan dengan tekad merdeka atau mati.

DISSOLVE INTO

9. EXT. SEMAK-SEMAK DIPINGGIR JALAN – SIANG
Kelihatan Nagabonar. Ia masih mengenakan pakaian yang baisa ia pakai. Dengan bersenjatakan pistol dan didampingi oleh Lukman dan Murad ia kelihatan memberi aba-aba pada pasukannya. Seorang pejuang melemparkan granat kearah konvoy Belanda yang lewat. Nagabonar kelihatan memberikan perintah dengan tangan kirinya.
Kelihatan pejuang-pejuangnya yang berada disebelah kiri maju sambil menembak dan berteriak.

PEJUANG
Merdeka, merdeka !

RADIO (off)
Pasukan rakyat yang didampingi oleh Nagaboner berhasil menghancurkan musuh.

DISSOLVE INTO

10. EXT. MARKAS PERJUANGAN – SIANG
Kelihatan beberapa orang digiring masuk markas itu.

RADIO (off)
Sementara itu digaris belakang diadakan pembersihan terhadap mata – mata musuh dan penghianat – penghianat.

DISSOLVE INTO

11. EXT. DEPAN RUMAH DR. ZULMI – SIANG
Pasukan rakyat yang kelihatan berwajah kejam dipimpin oleh Mariam mengepung rumah Dr. Zulmi.

RADIO (off)
Dr. Zulmi seorang dokter terkenal ternyata seorang penghianat. Pasukan rakyat dipimpin oleh meriam terlah mengepung rumah dokter penghianat itu. tapi mata – mata itu sidah melarikan diri ke kampung Nica.

Pejuang – pejuang Mariam mendobrak pintu lalu masuk kedalam rumah.

12. INT. RUMAH DR. ZULMI – SIANG
Pejuang – pejuang itu masuk lalu merusak segala yang ada didalam rumah. Beberapa orang mencopet barang – barang lepas yang ada diatas meja, seperti asbak dan sebagainya.
Mariam masuk. Diatas meja makan kelihatan beberapa potong roti dan beberapa potong keju. Mariam duduk dimeja makan. Ia makan roti.
Seorang pejuang datang melapor.

PEJUANG
Seluruh rumah sudah diperiksa. Kosong.

MARIAM
Anak perempuannya mana ?

PEJUANG
Tidak ada. Kudanya juga tidak ada.

Mariam kelihatan marah sekali. Ia memukul meja dengan tangannya. Kemudian ia membuka tangkep roti yang sedang ia makan lalu ia perlihatkan pada pejuang itu sambil berkata.

MARIAM
Kalian lihat. Keju ini bukti ia betul – betul mata – mata Belanda .....Pasti ada yang berkhianat. Siapa kiranya yang menculik anak perempuan itu ?

Pengikut – pengikutnya diam.

13. EXT. DAERAH BERBUKIT – BUKIT – SIANG
kelihatan Nagabonar lagi meneropong ke arah jalan. Sekarang penampilannya sudah lain. Ia memakai topi vilt yang pakai jambul. Dibagaian samping topi itu kelihatan sebuah kokarde merah purtih yang terbuat dari kain. Ia memakai kemeja lengan panjang. Pinggangnya diikiat dengan kain berwarna merah putih. Celananya dril dan kakinya kelihatan sepatu tinggi. Dipinggangnya terselip sebuah pedang semurai yang panjang. Dikiri kanan pinggangnya tergantung holster yang berisi pistol sedangkan dibahunya terselempang bandolir berisi peluru senapan mesin.

Disampingnya berdiri Lukman juga sudah mengenakan pakaian perjuangan. Begitu juga Murad dan seorang yang bernama Barjo serta Bujang. Disamping Bujang kelihatan sebuah bangku brendah sedangkan disamping Nagabonar ada sebuah senapan mesin.

Melalui teropong kelihatan iring – iringan konvoi Belanda.
Nagabonar memberi perintah.

NAGABONAR
Pasukan tank maju !

Lukman berteriak mengulangi perintah Nagabonar.

LUKMAN
Divisi tank maju !

14. EXT. DI BAGIAN LAIN BUKIT – BUKIT – SIANG
Kelihatan empat buah gerobak berisi batu – bati besar sudah disiapkan dilereng bukit. Beberpa orang pejuang mendorong gerobak – gerobak itu hingga meluncur menuruni lereng dengan cepat terus kejalan raya.

15. INT. JEEP BELANDA - SIANG
Diambil dari dalam jeep melalui kaca jeep. Kelihatan gerobak – gerobak itu menuruni lereng bukit lalu pecah di jalan hingga jalan tertutup. Dilatar depan kelihatan punggung dua orang tentara Belanda. Yang disebelah kanan rupanya seorang perwira. Ia mengangkat tangannya memberi tanda untuk berhenti.
Dari jeep itu kelihatan Nagabonar diatas bukit menaiki suatu tempat ketinggian dan berdiri memandang kearah konvoi Belanda itu sambil melipat tanganya di belakang (gaya napoleon).

PERWIRA
God daar is die geke vent weer.

TENTARA BELANDA (off)
Wie luitenant ?

PERWIRA BELANDA
Nagabonar !

Perwira itu melompat keluar.

16. EXT. SEBUAH JALAN SEKITAR PERBUKITAN – SIANG
Serdadu – serdadu Belanda berlompatan dari atas truk, bersiap – siap untuk melakukan serangan. Beberapa orang memasang mortir. Dari tempat mereka masih kelihatan Nagabonar berdiri ditempat tadi. Kedengaran perintah.

PERINTAH
Vuur !

Peluruh mortir itu meledak didepan Nagabonar. Debu membumbung keudara. Dan waktu debu itu sudah hilang, Nagabonar sudah tak kelihatan lagi.

PERWIRA BELANDA Weg Nagabonar ! Now, det is vlug geddan

Untuk Seorang Gadis

Oleh : Imam Wibowo

Puisi Ku

Puisi ini Untuk seorang perempuan

yang bertahta di awan

dan menentang semua cinta ku

yang menusuk langitku

dan seluruh ruangku

aku...

rindu...

ingin berjumpa...

ingin menangis...

tertawa...

bersedih...

gembira...

semuanya dengan dia...

tapi kapan... ?

kapan....?

aku terlalu lama sudah menunggu...

ingin menyerah..

tapi tak bisa...

jika bertemu denganya aku ingin berkata :

"hujan, jika kau benar-benar menyayangi bumi

maka hujanilah dia sekali lagi"

Senja (Untuk Angkatan 0407 SMA N 1 Lawang Kidul)


Oleh : Imam Wibowo

Senja ini,
langit menampakkan kelabunya
bergemuruh menggulung-gulung
beserta dengan teriakkan yang menjadi-jadi

Aku terdiam
dalam kebahagiaan,
berat rasanya
untuk membiarkan ia diganti dengan hujan,,


aku terhanyut,
melamun,
tersadar,
tertawa,
hingga menangis,,


untukmu,
seluruh hidupku,,,,

sungguh, jangan tinggalkan tawa ini dalam kesendirian


semuannya,,
aku mencintai mu,,